Begitu derau menjadi sunyi yang bising, barulah dipahami bobot situasi yang mereka hadapi. Ia yang duduk di kursi kanan mencoba lagi untuk memanggil lawan bicara di radio. Namun, tidak siapa pun membalas. Mungkin tak percaya, rekannya yang duduk di sebelah kanan mencoba memanggil sendiri, tetapi tidak ada gunanya. Tangan mereka dingin, berpegangan pada tuas kendali seraya membatin, Hari inikah kami mati?
Mereka berdua berada dalam pesawat angkut kecil dengan turbin ganda yang dapat berotasi pada poros sayap, membuatnya dapat terbang vertikal laiknya helikopter atau lurus ke depan seperti pesawat biasa. Orang yang duduk di sisi kiri telah mengatur pesawat ke modus cruise, sehingga baling-baling mendorong pesawat ke depan secepat mungkin.
Kedua turbin terengah-engah membantu pesawat melarikan diri dari bahaya yang tak kasatmata. Di layar kendali, indikator daya tetap stabil—baterai chiron membuat mereka tak perlu khawatir soal sisa energi. Mereka berdua tahu bahwa tanpa teknologi ini, mereka mungkin sudah berhemat habis-habisan atau bahkan terpaksa mendarat darurat di tengah neraka pasir.
Penerbang di kursi kanan menekan beberapa tombol di layar sentuh yang memampangkan tulisan NESTER SYSTEM. Dua bar perak di masing-masing bahunya menyala merah dari pemantulan cahaya lampu-lampu cockpit. "Meluncurkan swarm. Modus bertahan."
"Dimengerti. Meluncurkan swarm. Modus bertahan," beo penerbang di kiri, mengonfirmasi pesan dari rekannya di kanan.
Di kedua sisi badan pesawat, pintu-pintu terbuka dengan cepat, menyingkap sebuah boks nest yang memuntahkan belasan drone monocopter setiap detik. Kawanan drone ini kemudian terbang bergerombol di sisi kanan dan kiri pesawat, seperti kawanan tuna yang mengejar paus. Kawanan ini diharapkan mampu melindungi pesawat dari entah serangan apa yang tampaknya sudah menembak jatuh pesawat lainnya.
Pilot yang menyandang satu bar perak di kedua bahunya itu menukikkan pesawat, manuver untuk menghindari kejaran rudal pendeteksi panas. Cahaya senja membuat bulu putihnya berkilau emas. Matanya menyisir medan yang ada di depannya. Ia tidak melakukannya berdasarkan aba-aba instrumen, tetapi intuisinya. Pikirnya, ada pola yang muncul ketika pesawat-pesawat kawan tertembak.
"Kita akan terbang menyusuri tebing," ucap pilot kepada kopilotnya. Ketika ia melirik ke kanan, kopilot mengangguk, seakan berkata, 'Lakukan apa pun yang perlu dilakukan'.
Pesawat melaju di antara dua tebing merah khas Gurun Hoderain. Sela antara kedua tebing tidak terlalu sempit yang membuat manuver menjadi sulit, tetapi seharusnya sudah cukup untuk mengacaukan sistem homing panas permukaan bumi. Gurun Hoderain memang tidak lembab seperti kebanyakan tempat, tetapi suhunya yang mencapai 75°C di siang hari menjadikannya salah satu dataran paling mematikan di bumi.
Kapten Golding, orang yang duduk di kursi kanan melihat ke belakang lewat atas bahu kanannya. Matanya menyisir langit dan tebing di bawahnya. "Kau melihat sesuatu?"
"Sekadar intuisi saya," jawab Letnan Satu Ferman, sang pilot. Keningnya terkucuri keringat yang mengalir deras dari dalam helmnya. Napasnya tersengal, tetapi tangannya mantap mencengkram kendali.
Di angkatan udara, wewenang siapa yang mengemudikan pesawat bukan ditentukan pangkat, melainkan lama jam terbang seorang individu. Namun, bukan berarti seorang copilot sepenuhnya dilarang dari posisi kepemimpinan. Kepala operasi dapat menjadi kru atau copilot di pesawat angkut maupun tempur.
Unauthorized use: this story is on Amazon without permission from the author. Report any sightings.
"Tidak usah terlalu sopan," dengus Golding. "Lagi pula, kita akan sering kerja bersama."
"Siap."
Pesawat terus melesat di antara tebing, membangunkan tanah yang mati gersang. Tiba-tiba, avionics mendeteksi adanya pesawat tak dikenal membuntuti pesawat Ferman dan Golding.
"Akhirnya muncul juga," desah Ferman.
"Mengirim kamikaze." Tak menunggu lama, Golding menekan tombol di layar untuk mengubah haluan beberapa drone ke arah musuh.
Gerombolan monocopter dengan sangat cepat mengubah arah laju ke belakang seakan mereka tidak lembam. Dengan sensor inframerah, mereka mulai mengejar objek bogey yang terbang berlawanan arah dari mereka. Pesawat lawan mulai membela diri dengan menembakkan senjata moncongnya. Gerombolan drone mulai menghindar dengan lihai. Peluru-peluru tampak menembus kerumunan, tak menggores apa pun di lintasannya seakan menembus bayangan semu.
Dengan hampir sepenuhnya mengandalkan momentum dari pesawat target, drone menghunjamkan diri mereka ke burung besi itu. Dari pesawat Ferman dan Golding, bola api sekilas menyala, kemudian tertutupi oleh bola asap hitam yang terus membesar.
"Splash one!"
Bacaan sinyal di instrumen mereka menunjukkan blip yang menghilang di sisiran selanjutnya. Keduanya tertegun, saling bertukar pandang. Seandainya bisa, mereka ingin sekali melihat ke belakang sambil menongolkan kepala dari jendela. Resolusi marabahaya yang cepat sekali menyisakan rasa awang-awangan dalam bahu-bahu mereka yang masih tegang.
"Magic, Talisman Two menembak jatuh satu bogey. Ganti." Ferman berdesah di antara kata-katanya. Rekan pesawat lain belum ada yang merespons. Namun di antara sengal napasnya, sedikit berhembus helaan yang lega. Bahaya yang mungkin telah menyingkirkan pesawat lainnya sudah ia dan Golding singkirkan.
Di belakang mereka yang semakin menjauh, asap hitam dari ledakan drone membumbung. Golding bahkan seakan-akan dapat mencium aroma sangit kemenangan kecil mereka. Suasana di kokpit berangsur menjadi cerah. Ferman akhirnya menyempatkan diri untuk melepaskan tangan kanannya dari throttle, menyapu keringat yang rembes dari moncongnya.
"Pertahanan terbaik adalah dengan menyerang," celetuk Golding sambil tertawa. Kali ini kentara bahwa ia lebih rileks.
Ferman menyahut dengan tawanya. "Kembali ke ketinggian semula. Tebing-tebing ini membuatku gugup." Kemudian dia dengan lihai menarik tuas kemudi, membuat pesawat memanjat ke ketinggian jelajah. "Jadi ... kita kembali ke fortress?"
"Kita sudah selesai di sini. Biarkan tim SAR yang menangani pesawat lainnya."
Pesawat terus melaju, membelah langit jingga Gurun Hoderain yang mulai meredup. Golding memantau layar sistem, sementara Ferman menjaga pesawat tetap stabil di jalur kembali ke fortress. Semua tampak tenang, seperti kejadian tadi tidak terjadi. Demi kebaikan mereka berdua, mungkin ini terlalu tenang. Mereka kehilangan tiga pesawat rombongan mereka dan kemenangan kecil barusan membuat mereka mengendur.
Di saat mereka tidak lagi menduga-duga, di situlah bahaya baru mengejutkan mereka.
Tanpa tanda-tanda, sinar yang menyilaukan berpendar dari belakang keduanya. Saking terangnya, pemandangan di luar lewat jendela depan tiba-tiba terasa gelap. Instrumen dan dasbor kokpit ikut menyala putih, membuat Ferman dan Golding terperenjat. Kemudian, pesawat melonjak kuat. Jika bukan karena sabuk pengaman, mereka sudah terpanting ke depan.
Tanpa mereka sadari, pesawat telah terbelah dua. Dua belah lambung pesawat kemudian semakin rusak akibat serangan dari resistensi udara, melipat keduanya menjadi satu. Dunia Ferman jungkir balik dalam sekejap. Logam mengerang dan robek diiringi deru angin yang memekakkan telinga, menggantikan keheningan sesaat setelah ledakan.
Onggokan besi itu terjun bebas, kemudian menghantam tanah merah dan diikuti bola api. Secercah cahaya biru berpendar sebentar. Jika bukan karena mekanisme keamanan baterai chiron, ledakan tersebut bisa jauh lebih besar. Kepulan asap hitam jadi tirai dari matahari sore.
Gelegar ledakan merambat ke hamparan yang gersang. Gemuruh terus terdengar beberapa saat sebelum gurun perlahan menjadi sunyi. Semuanya sunyi. Gurun Hoderain kembali menjadi hamparan tak berpenghuni, baik di darat maupun langit. Asap hitam mengepul tinggi, menghalangi cahaya senja yang kian menjingga.
Langit sore kemudian menjadi ungu--kemudian biru. Matahari perlahan terbenam. Lautan bintang mulai gemerlap. Perlahan, api-api sporadis di tanah merah itu menjadi sumber cahaya yang paling terang di alam liar. Namun, kegelapan perlahan melahap pemandangan puing seraya api meredup.
Lalu selesai. Gurun kembali mati sepenuhnya. Benar-benar mati.